Nyala api lilin tenang.
Memberi cerah pada ruang. Memberi satu kedamaian. Memberi kehangatan. Dan
memberi warna dalam kegelapan. Semua terlihat dengan mata walau pandangan itu
samar tanpa ada kejelasan. Sepintas api itu bertahan tanpa memeluk lilin yang mencengkam.
Ya, lilin itu mulai meleleh lamban pada sisinya setelah tergoyah oleh hembusan angin
angin dari pintu yang terbuka dengan suara. Sinar putih menerobos tanpa peduli
siapa yang berada diruang kegelapan ini bersama dengan asap yang menari di
udara. Dan, api lilin hanya terlihat satu titik warna merah, meleleh cepat dan
mulai tergeletak. Mati!. Tak ada lagi api lilin hanya sisa-sisa lelehan lilin
menyebar sebatas yang ada. Sinar putih mulai menguasai ruang dan sepasang kaki
berdiri tegak, entah siapa orang itu. Beberapa orang didalamnya mulai mengalih
pandangannya dan bergerak dari diamnya. Seorang yang berbadan tegak dan besar
bertato di lengan dengan seragam tahanan wara biru berdiri mendekat ke orang
itu. Dengan wajah yang sangar, petugas penjaga itu hanya mengacuhkan gertakan
muka sang tahanan itu.
“Lukman!.” Ucap sang
petugas dengan lantang, “segera ikut dengan saya.” Lanjutnya. Lukman yang
perawakan kecil dengan tinggi sekitar 170 cm berdiri dengan lemah. Dari
beberapa bagian di mukanya mulai tumbuh rambut yang tak terawat. Rambutnya
kusam dan mukanya kucal, ia mendandani dirinya seadanya namun dari sorotan
matanya ia tampak binar dengan berkaca-kaca. Ia menurut. Ia tak punya pikiran
lain. Pemanggilan dirinya hanya untuk memenuhi kegiatan-kegiatan mingguan di
tahanan. Ia mendekat dan diborgol kedua tangannya oleh seorang sipir lain.
Kemudian dibawa oleh mereka setelah seorang sipir mengunci kembali pintu sel.
Seorang yang berbadan besar mendekat besi sel dan mengerang sembari
menghentakan kepalan tangannya setelah melihat Lukman di bawah oleh para
petugas.
Hati Lukman merasakan
beda. Entah seperti apa perasaan itu. Ia merasakan lega, seakan-akan udara yang
dihembusnya membersihkan semua udara-udara yang ada didalamnya, membersihkan semua
sisa-sisa udara yang ia nafas selama ia hidup di jeruji hingga seluruh raga dan
jiwa. Peredaran darahnya semakin mengalir kencang membuat tubuhnya mulai kuat
dan kembali segar walau langkah kakinya pelan oleh usianya yang mulai tua.
Lukman memandangi segala arah. Ia mengamati secara detil dan merekam semua
kedalam memorinya. Puluhan tahun lamanya ia menjalani kehidupan di benteng ini.
§
Lukman melangkah dari
gerbang pintu LP. Pintu tertutup. Lukman kembali menoleh kebelakang dan berdiri
diam setelah beberapa langkahnya. “Sungguh aku bahagia bisa kembali menghirup
udara diluar yang segar ini,” ucap hatinya dengan berusaha tersenyum namun
berasa berat saat hati mulai isak, “ namun aku sedih saat kembali tak ada yang
menyambutku. Aku sedih, harus kemana untuk bisa duduk tenang melanjutkan sisa
hidupku ini.” Lanjutnya dengan mata yang berkaca-kaca. Lukman mengusap matanya
oleh lengan kanannya. Antara berat dan ringan ia memutuskan menanggalkan LP itu
dan kembali melangkah untuk masa depannya.
Lukman
menegakkan langkahnya. Badannya yang kecil membuat bajunya yang berwarna
abu-abu serasa bendera yang berkibar oleh angin dijalanan dan laju kendaraan
yang lalu lalang. Nampak letih pada raut mukanya. Ia masih merasakan keadaan
sekitar. Menjamahi semua komponen-komponen diluar. Ia pun merasa sedikit kaget
dan bingung atas perubahan-perubahan di luar tahanan. Ia sedikit ingat
gedung-gedung kecil dan jalanan yang belum begitu ramai tetapi ia tak mendapati
semua itu bahkan hampir menyeluruh gedung-gedung itu berubah. Hanya beberapa
gedung yang masih mempertahankan ke-unik-annya sebagai ciri khas yang mereka
pajang.
Dari
kejauhan, Lukman menyebrang jalanan yang ramai oleh lalu lalang kendaraan,
diantara mereka ada beberapa pedagang asongan, pedagang kaki lima dan beberapa
pedagang lainnya lalu Lukman segera mengambil langkah cepat saat jalanan
lengang. Lukman menelusuri jalanan ditrotoar dengan mengamati segala arah
pandangannya. Wajahnya terlukis lelah.
§
Lukman
duduk bersila dengan beralaskan koran bekas di sebuah taman. Didepannya segelas
air kemasan dan sebungkus nasi yang sudah terbuka. Lukman pun segera melahap
makanan tersebut dengan lahapnya sembari dipegang tangannya. Namun saat suapan
ketiganya tiba-tiba bungkusan nasi yang dimakannya jatuh berserakan oleh
lemparan bola. Lukman sedih. Lukman mengarah pandangannya untuk mencari arah
bola tersebut. Beberapa anak yang berumur sekitar umur dua puluhan keatas
berdiri mengara kedirinya dan dari seorang mereka berlari menuju ke arahnya dan
duduk menekuk kakinya sembari ,” Maaf pak, aku tak sengaja melakukannya”.
Kepala Lukman bergetar oleh kesalnya namun segera di redamkan.
“Woi
bro!!!, ambil bolanya. Ngapain lo deketin si gembel renta itu!” teriak dari
seorang temannya. Anak itu lekas menengok ke teman-temannya. Dan Anak itu
kembali mengarah ke Lukman, Lukman pun mengangguknya. Anak itu segera mengambil
bola yang tak jauh dari Lukman. Anak itu kembali ke teman-temannya.
“Tepat
juga tendangan saya. Hahahhahah...” ucap seorang anak dari mereka dengan
tertawa lepas.
“Gila!,
lo bisa kualat.” Timpal yang lain.
“Kualat?!.
Omejot! Mana ada kualat dari seorang gembel dari dia” tangkisnya dan mereka
melanjutkan tawa bersama. Mereka kembali melanjutkan main bola dan anak itu
berpaling kepada Lukman. Lukman sedang mengumpulkan nasi dengan kedua lengannya
dan menaruh kembali kebungkusnya. Gelas plastik yang penuh air kini tumpah tak
tersisa dan sebagian alas koranya basah dan robek. Lukman kembali memakan
nasinya.
Mereka
menyudahi permainan bolanya. Dan mereka pergi. Anak itu dengan lari menghampiri
Lukman dengan membawa sebotol air. “Pak tua, aku tak bisa mengganti makanan mu.
Hanya ini yang aku bisa berikan kepadamu.” Ucapnya ramah dan sopan. Anak itu
tersenyum dan ia kembali ke teman-temannya dengan berlari. Lukman pun terseyum.
Matanya mengikuti anak itu hingga benar jauh dari pandanganya. Lukman segera
membuka botol air tersebut dan lekas meminumnya.
Lukman
bersandar tidur, nafasnya berat memberikan keterangan lelahnya menjalankan
kehidupan. Garis-garis pada wajahnya seolah memberikan kejelasan tentang
jejak-jejak pemikiran dalam menjalankan kehidupannya. Angin yang tertiup
memberikan kesegaran dan kedamaian dalam lelapnya.
§
Sudah
seminggu Lukman hidup dijalanan. Ia melangkahkan kehidupan mengikuti langkah
kakinya. Ia menyadari betul tentang dirinya dan keluarganya. Ia ingin kembali
kepada saudar-saudaranya namun pikirannya menolak hal itu sebab menurut dirinya
saudara-saudara, mungkin, sudah pada meninggal dan kalau ingin ikut hidup
bersama dengan keponakan atau sepupuhnya itu mustahil.
Lukman
adalah orang tua sebatang kara. Istrinya meninggal saat ia lima tahun didalam
penjara. Dan anak tunggalnya berada di Surabaya setelah mendengar kabar saat
dirinya masih didalam penjara. Lukman hanya pasrah dengan kehidupan sekarang.
Pasrah menjalankan kehidupan yang tunggal.
Lukman
tak beruntung dalam usianya yang senja. Apalagi dengan kestatusan bekas
narapidana dengan kasus pembunuhan. Dan hal itu, Lukman mengasingkan dari
kehidupan anaknya. Dan apabila untuk kembali kepada anaknya, Lukman berpikir
dia akan diusir dari kehidupan anaknya. Cita-citanya untuk menjadi orang tua
yang dicintai dan menjadi menggotong jenasahnya kelak ke tempat peristirahatan
terakir sirna. Dia hanya berharap dalam hati agar anaknya nanti mau mendoakan
kala dirinya meninggal.
‘Aku
rindu pada peluk anakku, Petra Lukman.’ ucap hatinya dalam kesendirian di
sebuah halaman masjid raya ibu kota provinsi. Ia terduduk disudut dibawah pohon
palem besar yang teduh yang melihat seorang pria seumuran dituntun oleh orang
muda, menurutnya ia adalah anaknya bersama istrinya yang di belakang. Lukman
meneteskan airmatanya. Terlihat kilau di kulitnya yang coklat kelam. Lukman
terbatuk. Lalu ia berdiri setelah dalam pandangannya yang samar mendapati
seorang anak muda yang pernah memberinya air minum. Ia berjalan lirih
sesampainya di depan masjid, anak muda tersebut masuk ke masjid. Lukman
bernafas lemas. Lukman pun kembali ke tempat semula untuk menunggu anak muda
itu keluar dari masjid.
Satu
jam telah berlalu. Lukman mendekat ke halaman masjid. Ia berusaha mendekat ke
orang yang berjalan namun orang-orang itu pada menjauhinya. Lukman sedih.
Lukman tak paham kenapa setiap dirinya mendekat kepada mereka semua menjauh.
Lukman
pun berjalan ke seorang yang duduk didepan halaman masjid itu yang berpakaian
kusam dan kucal. Sesampai didepannya, “Hai kau! Kenapa kau mau mengemis disini.
Lebih baik kau ambil tempat yang lain saja.” Ucapnya ketus. Lukman pun hanya
menghadapkan kedua telapak tangannya.
“Maaf
pak, saya kesini bukan untuk mengemis. Saya hanya ingin bertanya kepada bapak,
itu pun kalau sudi.” Lirih Lukman seraya mereda ucapannya.
Pengemis
itu memicingkan matanya. Menjamah detil seluruh tubuh Lukman. “Mau tanya apa
kau? Cepatlah...”
“Terimakasih,
kamu sudah mengerti,” ucap Lukman dengan mengangguk, “ berapa lama biasanya
orang bersembayang didalam masjid?”
“Kenapa
kau tanya seperti itu?. Lakukan saja kau shalat dan kau akan tahu berapa lama
kau akan shalat”
“Iya,
saya paham. Aku bukan orang yang seperti kamu dan orang-orang disini yang suka
bersembayang ke masjid. Aku hanya ingin tahu berapa lama untuk bersembahyang di
dalam masjid?”
“Cepat.
Tak kurang dari sepuluh menit. Emang kenapa?”
“Tidak
apa-apa. Aku sedang menunggu seorang yang sedang bersemhyang tapi orang itu tak
kunjung keluar dari masjid”
“Hmmm,
kau kenal dengan orang itu?”
Lukman
menggelengkan kepala namun ia segera menganggukan kepalanya. “iya... iya.. aku kenal
dengan orang itu. Aku sudah satu jam disini menunggu anak muda itu”
“Anak
muda? Yang mana? Disini banyak anak muda pak!”
“Iya,
saya tahu. Dan saya ingat dengan mukanya”
“Ya,
sudah cari saja kau sendiri.”
Pengemis
itu mengipas tangannya untuk mengusir Lukman. Dengan kondisi, Lukman memahami
orang itu dan ia pamit meninggalkan orang tersebut. Lukman berusaha mencari
disekitar halaman. Namun tak menemukannya. Lukman terbatuk-batuk di teriknya
siang.
Sedang Proses ;)
0 komentar:
Posting Komentar
Biasanya kesempurnaan bila ada tambahan, so beri komen ya buat kesempurnaan blog ini... :)