S
|
ORE itu lepas dari jam
lima lebih Sutirah duduk menatap lurus menerjang jerali besi jendela kayu yang
mulai rapuh. Dari balik jendela itu air hujan masih membasahi bumi dengan deras
dan angin yang berhembus kedirinya. Sutirah masih bergeming, jari jemarinya
masih menyatu yang berpangku di atas perutnya. Sutirah berkedip berat dan
matanya mulai berkaca-kaca. Suara kilat terdengar menyambar bersama dengan
jatuhnya air mata Sutirah. Kali ini ia menikmati pejaman matanya meski air mata
masih membekas disudut-sudut kedua matanya. Segelas air teh panas di cangkir
mulai tak berasap yang terlihat setengah. Sutirah yang mengenakan sweater warna
ungu tua dengan kain batik bawahannya lalu mengela nafas kemudian ia tersenyum
lirih. Senyuman lirihnya mengingatkan pada suatu keindahan dimasa lalunya.