Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan

Selasa, 06 September 2011

PELUK (cerpen)


Nyala api lilin tenang. Memberi cerah pada ruang. Memberi satu kedamaian. Memberi kehangatan. Dan memberi warna dalam kegelapan. Semua terlihat dengan mata walau pandangan itu samar tanpa ada kejelasan. Sepintas api itu bertahan tanpa memeluk lilin yang mencengkam. Ya, lilin itu mulai meleleh lamban pada sisinya setelah tergoyah oleh hembusan angin angin dari pintu yang terbuka dengan suara. Sinar putih menerobos tanpa peduli siapa yang berada diruang kegelapan ini bersama dengan asap yang menari di udara. Dan, api lilin hanya terlihat satu titik warna merah, meleleh cepat dan mulai tergeletak. Mati!. Tak ada lagi api lilin hanya sisa-sisa lelehan lilin menyebar sebatas yang ada. Sinar putih mulai menguasai ruang dan sepasang kaki berdiri tegak, entah siapa orang itu. Beberapa orang didalamnya mulai mengalih pandangannya dan bergerak dari diamnya. Seorang yang berbadan tegak dan besar bertato di lengan dengan seragam tahanan wara biru berdiri mendekat ke orang itu. Dengan wajah yang sangar, petugas penjaga itu hanya mengacuhkan gertakan muka sang tahanan itu.

“Lukman!.” Ucap sang petugas dengan lantang, “segera ikut dengan saya.” Lanjutnya. Lukman yang perawakan kecil dengan tinggi sekitar 170 cm berdiri dengan lemah. Dari beberapa bagian di mukanya mulai tumbuh rambut yang tak terawat. Rambutnya kusam dan mukanya kucal, ia mendandani dirinya seadanya namun dari sorotan matanya ia tampak binar dengan berkaca-kaca. Ia menurut. Ia tak punya pikiran lain. Pemanggilan dirinya hanya untuk memenuhi kegiatan-kegiatan mingguan di tahanan. Ia mendekat dan diborgol kedua tangannya oleh seorang sipir lain. Kemudian dibawa oleh mereka setelah seorang sipir mengunci kembali pintu sel. Seorang yang berbadan besar mendekat besi sel dan mengerang sembari menghentakan kepalan tangannya setelah melihat Lukman di bawah oleh para petugas.

Hati Lukman merasakan beda. Entah seperti apa perasaan itu. Ia merasakan lega, seakan-akan udara yang dihembusnya membersihkan semua udara-udara yang ada didalamnya, membersihkan semua sisa-sisa udara yang ia nafas selama ia hidup di jeruji hingga seluruh raga dan jiwa. Peredaran darahnya semakin mengalir kencang membuat tubuhnya mulai kuat dan kembali segar walau langkah kakinya pelan oleh usianya yang mulai tua. Lukman memandangi segala arah. Ia mengamati secara detil dan merekam semua kedalam memorinya. Puluhan tahun lamanya ia menjalani kehidupan di benteng ini.

§

Lukman melangkah dari gerbang pintu LP. Pintu tertutup. Lukman kembali menoleh kebelakang dan berdiri diam setelah beberapa langkahnya. “Sungguh aku bahagia bisa kembali menghirup udara diluar yang segar ini,” ucap hatinya dengan berusaha tersenyum namun berasa berat saat hati mulai isak, “ namun aku sedih saat kembali tak ada yang menyambutku. Aku sedih, harus kemana untuk bisa duduk tenang melanjutkan sisa hidupku ini.” Lanjutnya dengan mata yang berkaca-kaca. Lukman mengusap matanya oleh lengan kanannya. Antara berat dan ringan ia memutuskan menanggalkan LP itu dan kembali melangkah untuk masa depannya.


Lukman menegakkan langkahnya. Badannya yang kecil membuat bajunya yang berwarna abu-abu serasa bendera yang berkibar oleh angin dijalanan dan laju kendaraan yang lalu lalang. Nampak letih pada raut mukanya. Ia masih merasakan keadaan sekitar. Menjamahi semua komponen-komponen diluar. Ia pun merasa sedikit kaget dan bingung atas perubahan-perubahan di luar tahanan. Ia sedikit ingat gedung-gedung kecil dan jalanan yang belum begitu ramai tetapi ia tak mendapati semua itu bahkan hampir menyeluruh gedung-gedung itu berubah. Hanya beberapa gedung yang masih mempertahankan ke-unik-annya sebagai ciri khas yang mereka pajang.

Dari kejauhan, Lukman menyebrang jalanan yang ramai oleh lalu lalang kendaraan, diantara mereka ada beberapa pedagang asongan, pedagang kaki lima dan beberapa pedagang lainnya lalu Lukman segera mengambil langkah cepat saat jalanan lengang. Lukman menelusuri jalanan ditrotoar dengan mengamati segala arah pandangannya. Wajahnya terlukis lelah.

§

Lukman duduk bersila dengan beralaskan koran bekas di sebuah taman. Didepannya segelas air kemasan dan sebungkus nasi yang sudah terbuka. Lukman pun segera melahap makanan tersebut dengan lahapnya sembari dipegang tangannya. Namun saat suapan ketiganya tiba-tiba bungkusan nasi yang dimakannya jatuh berserakan oleh lemparan bola. Lukman sedih. Lukman mengarah pandangannya untuk mencari arah bola tersebut. Beberapa anak yang berumur sekitar umur dua puluhan keatas berdiri mengara kedirinya dan dari seorang mereka berlari menuju ke arahnya dan duduk menekuk kakinya sembari ,” Maaf pak, aku tak sengaja melakukannya”. Kepala Lukman bergetar oleh kesalnya namun segera di redamkan.

“Woi bro!!!, ambil bolanya. Ngapain lo deketin si gembel renta itu!” teriak dari seorang temannya. Anak itu lekas menengok ke teman-temannya. Dan Anak itu kembali mengarah ke Lukman, Lukman pun mengangguknya. Anak itu segera mengambil bola yang tak jauh dari Lukman. Anak itu kembali ke teman-temannya.

“Tepat juga tendangan saya. Hahahhahah...” ucap seorang anak dari mereka dengan tertawa lepas.

“Gila!, lo bisa kualat.” Timpal yang lain.

“Kualat?!. Omejot! Mana ada kualat dari seorang gembel dari dia” tangkisnya dan mereka melanjutkan tawa bersama. Mereka kembali melanjutkan main bola dan anak itu berpaling kepada Lukman. Lukman sedang mengumpulkan nasi dengan kedua lengannya dan menaruh kembali kebungkusnya. Gelas plastik yang penuh air kini tumpah tak tersisa dan sebagian alas koranya basah dan robek. Lukman kembali memakan nasinya.

Mereka menyudahi permainan bolanya. Dan mereka pergi. Anak itu dengan lari menghampiri Lukman dengan membawa sebotol air. “Pak tua, aku tak bisa mengganti makanan mu. Hanya ini yang aku bisa berikan kepadamu.” Ucapnya ramah dan sopan. Anak itu tersenyum dan ia kembali ke teman-temannya dengan berlari. Lukman pun terseyum. Matanya mengikuti anak itu hingga benar jauh dari pandanganya. Lukman segera membuka botol air tersebut dan lekas meminumnya.

Lukman bersandar tidur, nafasnya berat memberikan keterangan lelahnya menjalankan kehidupan. Garis-garis pada wajahnya seolah memberikan kejelasan tentang jejak-jejak pemikiran dalam menjalankan kehidupannya. Angin yang tertiup memberikan kesegaran dan kedamaian dalam lelapnya.

§

Sudah seminggu Lukman hidup dijalanan. Ia melangkahkan kehidupan mengikuti langkah kakinya. Ia menyadari betul tentang dirinya dan keluarganya. Ia ingin kembali kepada saudar-saudaranya namun pikirannya menolak hal itu sebab menurut dirinya saudara-saudara, mungkin, sudah pada meninggal dan kalau ingin ikut hidup bersama dengan keponakan atau sepupuhnya itu mustahil.

Lukman adalah orang tua sebatang kara. Istrinya meninggal saat ia lima tahun didalam penjara. Dan anak tunggalnya berada di Surabaya setelah mendengar kabar saat dirinya masih didalam penjara. Lukman hanya pasrah dengan kehidupan sekarang. Pasrah menjalankan kehidupan yang tunggal.

Lukman tak beruntung dalam usianya yang senja. Apalagi dengan kestatusan bekas narapidana dengan kasus pembunuhan. Dan hal itu, Lukman mengasingkan dari kehidupan anaknya. Dan apabila untuk kembali kepada anaknya, Lukman berpikir dia akan diusir dari kehidupan anaknya. Cita-citanya untuk menjadi orang tua yang dicintai dan menjadi menggotong jenasahnya kelak ke tempat peristirahatan terakir sirna. Dia hanya berharap dalam hati agar anaknya nanti mau mendoakan kala dirinya meninggal.

‘Aku rindu pada peluk anakku, Petra Lukman.’ ucap hatinya dalam kesendirian di sebuah halaman masjid raya ibu kota provinsi. Ia terduduk disudut dibawah pohon palem besar yang teduh yang melihat seorang pria seumuran dituntun oleh orang muda, menurutnya ia adalah anaknya bersama istrinya yang di belakang. Lukman meneteskan airmatanya. Terlihat kilau di kulitnya yang coklat kelam. Lukman terbatuk. Lalu ia berdiri setelah dalam pandangannya yang samar mendapati seorang anak muda yang pernah memberinya air minum. Ia berjalan lirih sesampainya di depan masjid, anak muda tersebut masuk ke masjid. Lukman bernafas lemas. Lukman pun kembali ke tempat semula untuk menunggu anak muda itu keluar dari masjid.
Satu jam telah berlalu. Lukman mendekat ke halaman masjid. Ia berusaha mendekat ke orang yang berjalan namun orang-orang itu pada menjauhinya. Lukman sedih. Lukman tak paham kenapa setiap dirinya mendekat kepada mereka semua menjauh.

Lukman pun berjalan ke seorang yang duduk didepan halaman masjid itu yang berpakaian kusam dan kucal. Sesampai didepannya, “Hai kau! Kenapa kau mau mengemis disini. Lebih baik kau ambil tempat yang lain saja.” Ucapnya ketus. Lukman pun hanya menghadapkan kedua telapak tangannya.

“Maaf pak, saya kesini bukan untuk mengemis. Saya hanya ingin bertanya kepada bapak, itu pun kalau sudi.” Lirih Lukman seraya mereda ucapannya.

Pengemis itu memicingkan matanya. Menjamah detil seluruh tubuh Lukman. “Mau tanya apa kau? Cepatlah...”

“Terimakasih, kamu sudah mengerti,” ucap Lukman dengan mengangguk, “ berapa lama biasanya orang bersembayang didalam masjid?”

“Kenapa kau tanya seperti itu?. Lakukan saja kau shalat dan kau akan tahu berapa lama kau akan shalat”

“Iya, saya paham. Aku bukan orang yang seperti kamu dan orang-orang disini yang suka bersembayang ke masjid. Aku hanya ingin tahu berapa lama untuk bersembahyang di dalam masjid?”

“Cepat. Tak kurang dari sepuluh menit. Emang kenapa?”

“Tidak apa-apa. Aku sedang menunggu seorang yang sedang bersemhyang tapi orang itu tak kunjung keluar dari masjid”

“Hmmm, kau kenal dengan orang itu?”

Lukman menggelengkan kepala namun ia segera menganggukan kepalanya. “iya... iya.. aku kenal dengan orang itu. Aku sudah satu jam disini menunggu anak muda itu”

“Anak muda? Yang mana? Disini banyak anak muda pak!”

“Iya, saya tahu. Dan saya ingat dengan mukanya”

“Ya, sudah cari saja kau sendiri.”

Pengemis itu mengipas tangannya untuk mengusir Lukman. Dengan kondisi, Lukman memahami orang itu dan ia pamit meninggalkan orang tersebut. Lukman berusaha mencari disekitar halaman. Namun tak menemukannya. Lukman terbatuk-batuk di teriknya siang.



Sedang Proses  ;)

Sabtu, 20 Agustus 2011

Heart on the Bottle


heart on the Bottle
pic by pikonthe.blogspot.com
SEBUAH lukisan besar berukuran satu kali dua meter yang menggambarkan seorang wanita tersenyum dengan menggenggam jemarinya, Monalisa. Sebuah karya sang maestro Leonardo Da Vinci yang super terkenal dan penuh teka-teki didalamnya. Ia tergantung tepat selurus dari pintu masuk museum. Bagi yang memasuki museum itu mata akan langsung tertuju ke sebuah lukisan itu.

Seorang lelaki yang sedang berjalan lirih mengamati dalam dari lukisan disetiap detil itu. Ia tak memahami tentang sebuah lukisan Monalisanya Da Vinci namun dia kagum dengan sebuah karya di masa silam. Mengartikannya wanita itu tersenyum ikhlas tanpa sebuah beban. Sekali ingin lelaki itu untuk menyentuh Monalisa namun keraguan oleh sebuah tulisan ‘Dilarang Menyentuh’ kembali mengurungkannya. Lelaki itu lebih memahami aturan karena lukisan itu yang langka dan bernilai.

Setelah lama dan berdetak kagum dengan Monalisa, lelaki itu menyisir ke sebuah lukisan di seberang dinding lainnya. Lelaki itu mendekati, sebelumnya ia mengarah ke semua lukisan dari sepintas dan ia mendapatkan sebuah karya yang sama indahnya. Namun selangkah dari posisinya seorang lelaki berambut panjang ikal mendekati dan membungkan mulutnya serta menarik paksa ke sebuah dinding. Mereka bersembunyi dibalik dinding itu dan lelaki yang berambut panjang ikal masih membungkam lelaki tersebut dengan menyandarkan ke dinding. Mereka bertatap. Lelaki tersebut memberikan senyum yang tertutup oleh telapak tangan kanan kiri lelaki berambut panjang. Dari kediaman mereka, terdengar suara lelaki lain bersuara ‘berhenti’ sembari berlari lurus melewati dinding persembunyian mereka dan lelaki berambut panjang melepas bungkamannya ke lelaki tersebut setelah tahu seorang yang berlari itu adalah petugas museum telah tak terlihat.

Lelaki berambut pajang itu berlari namun kembali membalikan pandangannya ke lelaki itu setelah ia tak mengikutinya. Ia menarik tanggannya untuk berlari bersama. Dan mereka pun berlari menelusuri lorong dari museum. Dengan mengarah ke segala arah untuk mengetahui keadaan dan mencari jalan lelaki berambut panjang itu memimpinnya. Mereka menaiki sebuah tangga ke atas. Suara bergemuruh dari langkah mereka menaiki tangga tersebut dan lelah dari raut mereka berdua.

Dan mereka keluar museum dari menara di pintu lantai dua. Mereka berhati-hati dengan larinya diatas atap bergenting sembari mengimbangi tubuhnya dan mereka terhenti disebuah ujung. Mereka terjebak.

“Turunlah. Nanti saya akan menyusul” ucap lelaki berambut panjang sembari mengarahkan pandangannya ke belakang dengan nafas yang tersengal.

“Aku takut. Ini terlalu tinggi.” Ucapnya ragu. Ia pun ketakutan dengan ketinggian sekitar tiga meter.
Dengan terpaksa dan mempercepat kaburnya, lelaki berambut panjang itu mendorong lelaki tersebut dan ia terjatuh dengan lengan sebagai tumpuannya. Ia merasa kesakitan pada lengan kanannya. Lelaki berambut panjang itu menyusul ke bawah. Dengan berusaha mencari yang terbaik untuk tidak membuat rasa sakit oleh lelaki tersebut, lelaki berambut itu menopang tubuh lelaki itu.

۞

Senja melukis indah oleh warna dan sinar sang matahari yang memancar jauh. Tenang, burung-burung terbang kian menari yang damai dibawah angkasa yang bersahaja pada alam. Angin menyisir lembut. Mereka menyaksikannya tanpa ada penghalang,seperti sebuah lukisan yang terdapat pada museum The Museum. Mereka diam, memandang dalam senja keindahan dari Sang Pencipta. Mereka duduk berdampingan di tepi atap sebuah gedung bertingkat. Angin masih menyisir mereka lembut. Mereka menikmati keindahan sejauh mata memandang.

“Maafkan saya, karena saya, kamu menjadi terluka” sesal lelaki yang berambut panjang. Ia berpaling kepadanya karena permintaan sesalnya tak terjawab, “apa kamu marah atas perlakuanku?. Sungguh aku tak bermaksud mencelakakan mu.” Pintanya sembari memegang jemari tangan lelaki disampingnya untuk memastikan. Ia menoleh ke lelaki yang berambut panjang.

“Ini sudah terjadi.” Ketusnya, ia kembali berpaling ke hamparan luas lukisan alam.”Aku tak tahu kenapa kamu membawa ku lari dan bodohnya aku, aku menurut saja tanpa ada pikiran. Dan lagi aku tak kenal kamu.

Lelaki berambut panjang itu berpaling kepadanya dan meraih lengan kirinya, “Tengoklah saya.” Pintanya dengan memandanginya dengan kuat. Kemudian ia mengarahkan muka lelaki disampingnya dengan lengan kanannya.”Apa kamu tak memaafkan saya?. Lihatlah mata saya, sungguh saya tak bermaksud untuk semua itu. Dan saya juga tak tahu kenapa saya memaksamu ikut denganku dari kejaran petugas museum itu.”
“Sudahlah, lagi pula sakitku sudah kau obati.” Ulasnya. Dan memberi senyum meski rasa sakitnya masih berasa. Lelaki berambut panjang berusaha untuk menenangkan kekalutannya.

“Saya David.” Ucap David untuk lebih bersahabat dan memberi warna keceriaan pada mukannya.
“Aku Lanies” jawab Lanies diikuti senyuman. Kemudian David merangkul bahu Lanis dengan tangan kanannya. Mereka kembali menatap angkasa yang warnanya makin tua.

“Saya suka berdiam diri disini untuk melepas penat oleh masalah-masalah ku. Dan saya senang dengan suasananya, tenang. Serasa alam merangkul bersama saya dalam masalah-masalah yang ada pada saya.” Ucap David mengawali cerita kehidupannya. Mereka pun terbahak oleh cerita-cerita konyol yang diceritakan olehnya.

Mereka berlalu dengan cerita David.

۞

David, yang bertelanjang dada dengan bercelana jeans dan rambut panjang yang terkucir, beranjak berdiri dan mengisyarakatkan ke Lanies untuk ikut pula berdiri. Lanies bingung apa yang akan dilakukan David kepada dirinya. Namun ia menuruti keinginnannya. Lanies merasa lega dan senang bersamanya.

“Kau tahu Lanies, liatlah?” kata David sembari menunjuk jauh matahari yang tenggelam. Lanies masih bingung sesekali ia berpaling kemukanya. David merangkul. “Cobalah tutup kedua mata kamu dan ucapkan pada hatimu apa keinginan sekarang maka akan terwujud.” lanjut terang David dengan membantu menutupkan matanya. Lanies pun mengikuti yang diucapkannya.

۞

“Sepertinya lukaku sudah mengering,” kata Lanies berusaha membuka ikatan kain saputangan yang diikatkan pada lengan kanannya yang terluka.
“Jangan!.” kata David mendekat. Lanies langsung berpaling.” Biar mengering. Jika dibuka takut nanti infeksi. Luka kamu cukup lebar.” lanjut David sembari membetulkan ikatan saputangan yang terikat di lengan Lanies.
“Kenapa kau peduli kepada David?”. David diam dan masih merapihkan ikatannya.
“Sudah.” David mengacuhkan pertanyaan Lanies dan beranjak berdiri. Kemudian ia mengulurkan lengannya ke Lanies. Lanies diam, mengacuhkan ajakan David dan pandangannya. David kembali mengajak untuk berdiri sembari menganggukan kepalanya. Dengan muka malas Lanies beranjak dengan memegang lengannya untuk beranjak berdiri. Mereka berjalan dan semakin jauh langkah mereka.

۞

David melempar batu kepingan ke laut, sekali batu itu mengapung-ngapung bak jetski meluncur kencang di lautan. Beberapa kali ia melemparnya dengan rasa kesal, berulang-ulang hingga belum merasa puas. Perasaannya sekarang semrawut, mungkin hal itu lebih baik dilakukan sedari ia harus melampiaskan ke Lanies yang baru di kenalnya. Mungkin itu bisa saja namun itu akan menjadi buruk baginya. Lanies adalah orang yang dekat saat ini. Dia akan lebih mengerti keadaan dirinya dari teman-temannya yang mulai menjauh dan juga keluarga yang sudah acuh atas kehadiran di tengah-tengah keluarganya meski nenek dan kakeknya masih bisa memahami keadaan di dirinya.

David adalah anak korban dari perceraian kedua orang tuanya dari ia masih awal masuk sekolah menengah. Dan ia anak tunggal. Ibunya telah menikah kembali setelah setahun dari perceraiannya. Sementara David ikut dengan ayahnya. Namun kehidupan David selalu di iramakan dengan ayahnya yang selalu beradu, David hanya membela dirinya sendiri karena sifat-sifat ayahnya yang tak kunjung baik dan makin menjadi. Judi dan main perempuan membuat David makin labil dalam kehidupannya. Dan pencarian jati dirinya ia temukan dengan cara berfikirnya sendiri, mendapatkan ketenangan dan kedamaian ia butuhkan,

David melambungkan lemparan batu terakhirnya dengan berteriak. Itu adalah klimaks untuk menenangkan dirinya dari sikap Lanies. Perasaannya bimbang dan takut. Bimbang akan perasaan dihatinya dan takut akan ditinggalkan. Rasa kecewa pun akan datang bila dirinya terlalu cepat mengikuti keinginannya, tentang cinta.

Lanies masih diam, duduk diatas pohon besar yang tergeletak dan sudah kering membelakangi David.

Perasaan Lanies gusar.

“Apa kau tahu Lanies?” kata David mulai mendekat, “Saya mulai bingung dengan perasaan saya sekarang. Entah apa dan siapa yang membuat ku seperti ini. Tuhan terlalu menciptakan kehidupan ini begitu indah, bagi mereka yang menikmatinya. Namun terkadang Tuhan tega memberikan ujian yang berat bagi mereka sampai terkadang juga beberapa orang tak kuat menerimanya dan lari, lari dari perintahnya.” Lanies masih diam. Ucapan David pun disamakan dengan angin yang berhembus di pantai. Kemudian ia menatap David saat pundaknya di rangkul David. David beralih kedepan dan menopang kakinya untuk duduk. David meraih jemari Lanies yang memegang ranting kecil kemudian menggambarkan tanda hati di pasir. “Cinta,” lanjut David lalu ia berpaling ke Lanies. Dan Lanies mulai memperhatikan ucapan David. “cintalah yang membuat semua mahluk tak akan pernah berpaling ke yang lain, Lanies.”

“David,” Lanies memegang pipi dengan jemari kirinya. Ia mendapati muka lusuh dan penuh guratan-guratan tentang kehidupannya yang seperti apa, “apa karena cinta kau seperti ini?” lanjut Lanies dan melepas jemarinya namun tatapan tajam saling memancar. David menyentakan dirinya dari tatapannya kemudian beranjak berdiri dan membelakangi Lanies, sementara Lanies memperhatikan tingkah David oleh ucapnya. Lanies tersenyum indah memberi sedikit rasa senyum pada David.
‘Cintakah yang membawamu kesini?’ ucap hati Lanies.

۞

Angin mulai menghembus pelan namun pekat dan mampu nembus tulang-tulang. Malam pun makin kelam memberi ruang sepi. Rembulan kini bercadar awan hingga cahayanya tak menderang. Diujung timur, dunia tenang terlelap oleh malam.

Lanies mulai meringkuk dalam tidurnya. Tak lama ia mulai merasakan dinginnya malam. Angin sudah menggilas tulang-tulang Lanies yang mengenakan kaos tipis warna biru muda. Tidurnya tak tenang. David pun terbangun yang bersebelahan.

“Biasakanlah tidur dengan keadaan seperti ini, aku dulu seperti itu namun karena saya sudah terbiasa akan menjadi tenang.” ujar David.

Lanies membalikan badannya dan menghadap ke David.

“Bolehkan aku memeluk mu David?” pintanya dengan menggigil.
David diam sesaat namun pikirannya mulai memahami menjawab pertanyaan di hatinya. “Peluklah Lan. Anggaplah saya apa yang ada di bayanganmu”

۞

Artisa menumpukan kakinya yang terduduk di kamar Lanies dengan isaknya. Ia kecewa dan menyesali yang terjadi perubahan pada Lanies. Ia mengusap air matanya dengan kain di lengan. Rambut yang di kucir seadanya kian berantakan. Wajahnya tak bersinar, sembab oleh relung kesedihan. Artisa lesu. Kemudian ia membangkitkan dirinya untuk tegar. Dari arah pandangannya ia mendapati sebuah lemari kecil yang terletak di pojok kamar Lanies. Kamar David rapih namun penuh dengan koleksi-koleksi kebutuhan dan hobinya. Poster besar Jennifer Lopez yang sensual terpasang di atas tempat tidurnya, ada juga poster besar lain dari group sepak bola Man. United dan beberapa foto-foto keluarganya dan sahabat-sabatnya.

Artisa membuka paksa lemari dengan geram dan kesal namun tak jua ia bisa. Ia mencari alat untuk membukanya dengan mengarahkan pandangannya ke semua ruang. Lalu ia melihat kotak tool set peralatan dan sesegera mencari alat seadanya yang mampu membuka kunci lemari itu. Ia memaksa memukul kunci lemari itu dengan keras dan sekuat tenaganya dengan martil besar. Dan pegangan kunci tersebut loncat kemudian pintu lemari itu terbuka.

Arisa mengacak isi lemari dan membuangnya apa yang diraihnya. Ia mencari sesuatu yang membuktikan perubahan pada Lanies. Ia ingin tahu sebab-sebab Lanies memutuskan dirinya. Dan tak lama, ia mendapat beberapa lembar foto. Ia meraihnya. Dengan langkah mundur dan kejut, Artisa tubuhnya makin lemas lalu ia menjatuhkan dirinya pada kasur Lanies.

Perasaannya campur aduk, entah apa yang dirasakan sekarang. Mungkin, serasa tulang-tulangnya diambil dari tubuhnya, sakit dan tak berdaya. Artisa menangis. Ia mengabaikan foto-foto itu lalu ia menutup muka dengan kedua tangannya untuk menahan rasa sakitnya.

۞

Lanies berdiri sedih. Matanya berkaca-kaca. Perasaanya kecewa ia akan di tinggalkan David. Ia mengacuhkan pandangan David namun ia tak mampu untuk itu. Wajahnya hanya menggeleng-gelengkan kepala. David tetap menganggukan kepala untuk mengusahakan ajakan dirinya ke Lanies. Lanies membuang muka dengan isak yang tertahan dan mata yang mulai menetes.

“Terserahlah!.” geram David sembari menunjukkan ke Lanies lalu ia membanting kedua tangannya ke udara. David membalikkan badannya ke pintu kereta dan ia kembali menghadap ke Lanies. David menemukan wajah Lanis penuh kesedihan. Hatinya pun ikut kecewa atas keputusan yang diambil meninggalkan kota ini. Dengan langkah berat David menaiki anak tangga kereta itu. Ia duduk ditepi yang terbatas kaca ke Lanies berdiri. Pintu kereta api mulai menutup perlahan otomatis.

“Mengapa kau membawa ku pada keadaan seperti ini?!” teriak Lanies. Kereta terus melaju dan semakin menjauh dari dirinya. Sebelumnya David masih tegas pada kediamannya dan tak berpaling kembali. ”Kau telah merusak semua setelah kau giat mengukir hati dengan indah. Apakah hatiku cuma hiasan saja yang terpajang didalam botol semata?” lanjut Lanies melemah. Dirinya pun dipaksakan untuk tegar menghadap perasaan yang terkoyak. Dan kereta mulai menghilang dari pandangan matanya.
Angkasa membawa warna abu dan menjadi malam.

۞

Lanies tersedu. Matanya merah dan masih berkaca-kaca. Ia berjalan lirih dengan menahan isakannya mendekat ke Artisa yang telah berdiri didepannya. Lanies mengunjungi ke rumah Artisa dan ia bertemu di depan rumahnya saat hendak berjalan. Artisa diam. Ia hanya memandangi Lanies.

Artisa masih menyimpan dendam dan kecewa. Perasaannya mulai berantipati. Nafasnya berima berat menahan kekecewaannya. Sementara Lanies mendekat dan langkahnya berhenti didepan Artisa. Lanies menggeleng-geleng lirih kepalanya, mengisyaratkan ia tak bermaksud untuk membuat Artisa sedih atas keputusan yang telah diambilnya. Lanies memohon dengan mukanya untuk menerima kehadirannya sesaat.

Artisa masih bergeming. Pikirannya melaju kencang ke beberapa waktu yang lalu atas perbuatan keputusan Lanies kepada dirinya. Waktu itu, dirinya hancur dan tak ada kepedulian dari Lanies. Ia juga mempertahankan keputusannya tanpa memberi tahukan alasan kenapa ia memutuskan dirinya.

Namun melihat keadaan Lanies sekarang Artisa mulai mencair. Ia pun berusaha untuk menerima keadaannya. Dan dirinya juga tahu penyebab berpisahnya kisah asmaranya. Artisa mengagguk. Dan dipeluklah erat tubuh Artisa oleh Lanies. Ia menangis.

Arista berusaha keras melepas pelukan Lanies dan mendorongnya, menjauhi dirinya. Arista masih labil akan perasaannya yang masih berseteru dengan perbuatan Lanies. Ia pun menjauhi Lanies dengan menangis. Dan ia berlari menuju ke rumahnya.

Gerimis kian deras pada malam yang sunyi dan lara. Kilat bak memecut hati Lanis yang kian lara. Lanies berlutut dan berteriak. Dan hujan itulah tangisan Lanies sesungguhnya yang membasahi seluruh tubuhnya.

۞

Lanies berdiri dan langkahnya mulai mendekat pada sebuah foto ilustri sang Tuhannya. Dibawahnya tertempel foto dirinya disaat kecil bersama ibunya. Dalam foto itu Lanies tersenyum lebar. “Tuhan, apakah ini bentuk perjanjianku pada Mu disaat aku masih didalam rahim ibuku?. Aku kan terima hasil kesepakatan ini.” Ucap Lanies dengan menatap tajam foto ilustri sang Tuhannya. Kemudian ia mengalihkan kepada foto ibunya. Ia hanya tersenyum dengan terisak tangis.

.THE END.





Sabtu, 30 Juli 2011

Jumat, 08 Juli 2011

Dialog Terakhir

"Saya nikahkan Niko Laresae Bin Tjutjune Darmantyo dengan Tjach Wadonita Dariantonowanti Binti Incuna Daridani dengan mas kawin uang sejumlah dua juta empat ratus empat ribu duaratus rupiah dan seperangkat alat sholat dibayar tunai!" ucap penghulu dengan akhir kalimat mengeja dan menegaskan salaman dengan Niko untuk merintahkan Niko segera menjawabnya.
"Saya terima nikahnya Tjach Wadonita Dariantono," Niko merasa tersendak didadanya yang membuat ia melirihkan suara dalam menyebut namanya. " bin Incuna Daridani dengan," Niko kembali merasa dadanya semakin menekan hingga ia memegang erat dada kirinya. Para saksi dan para undangan melihat kekhawatiran oleh tingkah Niko yang mengejutkan. Orang tua dari mempelai wanita, sang ibunda Tjah berusaha bergerak menghampiri. Sementara Tjah merasa khawatir dan takut," mas kawin tersebut dibaya........r", badan Niko roboh yang masih menjabat tangan bapak penghulu diatas meja tempat ijab kobul.
Tjah histeris, lalu pingsan dengan tiba-tiba. Ibu dari Niko pun kemudian pingsan. Para orang tua segera menolong Niko, yang sebelumnya bapak penghulu berusaha untuk menyadarkan Niko. Suasa menjadi gemuruh. Para tamu undangan yang hadir di sebuah masjid besar dengan dekorasi yang megah dan luas, terlihat masjid tersebut masih baru, beranjak dari tempatnya.
--------------- Tiga Bulan Yang Lalu ---------------
Niko Laresae, seorang pemuda berumur duapuluh enam tahun, anak dari seorang keturunan jawa yang merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Dan adiknya yang masih duduk dibangku sekolah menengah atas dengan beda umur sepuluh tahun dari Niko. Niko yang juga lulusan dari sebuah universitas di Purwokerto, jawa tengah dengan spesialisasi komunikasi visual. Dan setahun lebih Niko telah bekerja di sebuah perusahaan swasta di bidang desain grafis, periklan di Jakarta.
Pertemuan awal antara Niko dan Tjah adalah saat Niko sedang mengerjakan proyek iklan sebuah operator seluler. Saat itu Tjah dari perusahaan tersebut mewakili untuk menangani proyek kerjasama. Dari proyek tersebut dan dengan sering bertemu dengan waktu lama Niko dan Tjah saling mengenal hingga mereka memutuskan berpacaran.
Jalinan asmara telah dibina selama setahun dan mereka untuk memutuskan untuk menikah.
"Mas, terimakasih karena mas telah menepati janji. Dan Tjach sangat bahagia karena Mas Niko telah melamar Tjach," ungkap Tjach dengan terharu dan mata berkaca-kaca. "I love you, beib!" lanjutnya dengan segera memeluk Niko.
"I love you too Tjach." aku Niko.
Terkirim dari telepon Nokia saya

Minggu, 12 Juni 2011

Dialog

Ku hanya bisa lari dan berlari terus untuk mencari pohon untuk berteduh dan nafas ini masih tersengal hingga dada terasa sakit dan tak kuat tuk mengatur nafas!!! Sementara jarum-jarum perak terus menghujam raga ini hingga tersayat sembilu. Letih, ingin sejenak menahan perih namun suara kilat tak beri ampun memecut ke bumi dengan suaranya yang dahsyat!!!



'Tuhan,' teriak ku, ' Kau tau rencana dibalik kelahiranku di bumi ini tapi mengapa Kau begitu membenci dengan kehidupan ku. Aku tak meminta berada di dunia ini dan jika saat dalam rahim ibuku saat perjanjian itu, Engkau-lah yang memulai memilihnya...' 

Pingsan. Dan ku terbangun disebuah bangunan nan megah. Ku bertanya lirih saat ku sadar, 'Apakah ini sebuah surga atas penolakan ku terhadap Tuhan atas kematianku?'

'Tuhan menghadiahkan mu sebuah pohon lengkap dengan bunga-bunga dan kau yang akan kamu yang membantu memberikan buah-buah segar di pohon ini hingga nanti tumbuh tunas' ucap seorang kakek tua.

'Apakah aku berada disurga atas penolakan ku terhadap kehidupanku? Dan Tuhan memberikan semua yang kau ucapkan?' ucap ulangku.

'Kau belum pantas disurga. Kau akan tahu bagaimana surga dan neraka didalam suatu jalannya. Kau masih berada di dunia. Kami yang menyelamatkan mu wahai pemuda. Ingat-lah, belajarlah apa yang kamu telah lewati. Jangan kau keluhkan yang ada. Syukurilah yang ada. Pahami jalan-jalan mana saja yang menuju surga dan neraka. Dan sekarang kamu rehatlah nanti ada cucuku yang merawatmu. Dan dialah yang akan kamu butuhkan.' ucap kakek itu. Dan ia pergi meninggalkan ku.
Ku kembali memejamkan mata. Dan terdengar suara perempuan dengan ucap salam. Dan aku terbangun.

'maaf sudah lancang membawa anda ke tempat gubuk ini' ucap perempuan cantik itu. Aku tersadar bahwa ku berada disebuah rumah terbuat dari bilik bambu. 'Kemana kakek mu? Aku ingin bertanya kepadanya'

'kakek? Kakek sudah meninggal sepuluh tahun yang lalu. Aku hidup sendiri di rumah ini setelah kakek wafat.

'Wafat?' Lantas, siapa kakek tua tadi?'

'Aku tak tau... Mungkin itu adalah jawaban atas pertanyaan mu'

Aku terdiam setelah perempuan cantik itu membalas tanyaku dan mengingat kembali atas ucapan sang kakek tua.

Minggu, 17 April 2011

3+ [tiga plus] (cerpen)

'Ya Allah... Apa salah keluarga kami hingga aib ini menimpa kami. Begitu pandai kakak ku menyembunyikan hasil dari perbuatan nistanya.' ucap Kally dalam hatinya yang menangis. Matanya berkaca-kaca yang bediri disamping Olla yang sedang kesakitan untuk melahirkan anak keempatnya. Merintih-rintih kesakitan untuk melahirkan anak keempatnya yang dituntun oleh tim medis persalinan. Sementara Kally berusaha menenangkan kakaknya dengan apa yang dia lakukan, dalam hatinya : Ya Allah, Engkau maha tau apa yang terjadi pada kakak ku. Kakak ku yang bersalah namun anak yang hendak Kau utus begitu suci dan tak bersalah... Turunkanlah dia Ya Allah ke dunia ini agar kakak ku segera melahirkan. 'Olla, nyebut...' ucap Kally dengan gemetar.

'Apa yang harus ku sebut?' ucap Olla yang masih terengah nafasnya.

'Istighfar La... Istighfar... Kau harus menyebut asma Allah..'

Tim medis pun masih sibuk untuk berusaha membantu untuk mengeluarkan jabang bayinya. Dan Olla pun istihgfar setelah dibujuk dan di tuntun oleh Kally. Lalu sang bayi pun keluar setelah Olla beristighfar. Tim medis pun segera menanganinya dengan cepat. Tetapi saat sang bayi lahir tak menangis. Kally pun ketakutan. Dalam pemikirannya jika bayi di lahirkan maka akan menangis dan itu pun terjadi saat dirinya melahirkan anak pertama dan kedua. Kally melihat bayinya sejenak saat dibawa perawat berwarna lebam, pikirnya semakin jauh tak karuan. Ia pun menanyakan ke dokter tentang kondisi bayi Olla. Dokter pun menjelaskan dengan sedikit berusaha menangkan Kally.

Tak lama kemudian sang bayi pun menangis. Perasaan Kally pun tenang. Sementara dokter masih sibuk dengan persalinan Olla. Dan Olla masih dalam kondisi lemas diatas pembaringan. Kally segera meninggalkan ruang setelah melihat kondisi bayi sudah membaik dan juga kondisi Olla.

'Gimana kelahirannya?' ucap Nancy panik saat Kally baru keluar dari ruang. Kally menggiring untuk duduk. 'Gimana dengan Olla dan bayinya?' ulang Nancy yang masih panik dan segera ingin tahu kondisi kakak dan keponakan barunya.

Dengan berusaha untuk menenangkan dirinya, Kally mulai cerita kondisi Olla dan anaknya. Kally juga menceritakan kondisi saat melahirkan. Apa yang barusan dialami kakak mereka. Teruraikan air mata Kally saat menceritakan semua. Nancy pun menitikan air mata.

Saat mereka berusaha menenangkan dirinya, mereka berpelukan dengan kesedihan. Tak lama kemudian Hernan datang dengan tergesa. Dan, 'Ko menangis? Apa yang terjadi? Olla dan anaknya baik-baik saja kan? Tidak ada sesuatu terjadi yang ngga-nggak kan?'. Kally pun berdiri dan mengusap air matanya dan Nancy pun juga. Kally menceritakan kondisinya dengan tidak menceritakan kondisi saat melahirkan.

'Oh syukurlah...' ucap Hernan tenang. Mereka pun tersenyum berat. Dengan berubah mimik Hernan menjadi sedih dan kesal.

'Kenapa Nan? Kok kamu jadi sedih? Olla baik-baik saja dan begitu juga anaknya.' ucap Nancy sembari berdiri.

'Beritanya sudah menyebar sesama tetangga. Sangat sakit didengar dari mulut-mulut mereka. Apa yang harus aku bilang, saat mereka bertanya atas kelahiran Olla. Aku juga kaget saat mendengar berita kehamilan Olla.' cerita Hernan. 'Kenapa kalian nggak ngasih tau kalau Olla hamil? Hah?!' lanjut Hernan dengan perasaan campur aduk.

'Apa yang harus aku ceritakan ke kamu Nan. Aku pun sama. Aku kaget, shock dan tidak percaya kalau Olla hamil dan kabar kehamilannya pun aku nggak tahu. Aku kira Olla, Seolla, istri Luya... ' jawab Kally dengan menjelaskan saat dirinya tahu. 'Aku tahu saat Olla telfon aku. Dan aku pikir yang hendak lahiran istri Luya, adik kita.' lanjut Kally

'Sudahlah... Mau apalagi? Kondisi sudah begini dan sudah terjadi. Dan yang pasti kondisi Olla dan anaknya sudah dalam keadaan baik. Dan tentang masalah tetangga atau orang yang mendengar berita aib ini biarkanlah. Mau dibilang apa? Memang kenyataannya seperti ini. Dan kalau pun beritanya lebih tajam dari kondisi sebenarnya maka kita punya hak untuk menggugat sosialitas kita sebagai orang.' terang Nancy. Nancy berusaha mendinginkan suasana dan mengkondisikan agar pikiran kakak-kakaknya reda.
Dengan menenangkan dirinya, Hernan berusaha untuk menerima keadaan. Kally pun sudah kelihatan segar kembali raut mukanya.

***

'Gimana kondisi mama?' ucap Reki, anak Olla yang kedua yang berumur enambelas tahun. Reki datang dengan Handra adiknya yang berumur sembilan tahun. Reki dan Handra yang berdiri berjajar didepan Nancy.

'Mama baik-baik saja' ucap Nancy dengan berusaha tersenyum kepada para keponakannya dan mengelus pundak Reki yang kemudian melanjut ke kepala Handra.

'Handra punya adik lagi ya tante?. Cewek apa cowok tant?' ucap Handra lugu.

'Adik kamu cewek, Han'. Nancy perasaanya perih melihat Handra yang masih polos dan belum tahu apa-apa tentang kehidupan.

'His!!!' sentak Reki kepada Handra saat ia mengucap gembira punya adik perempuan.

'Nggap apa-apa Ki. Oh ya mana kak Jondi kakak mu?' tanya Nancy. Wajahnya lebih sedikit tenang. Dan Reki hanya menggelengkan kepalanya saat tak mengetahui keberadaan kakaknya. Mereka berdua dibawa masuk ke rumah inap dimana Olla sudah dipindahkan ke ruangan.

'Mama.....' teriak Handra kegirangan. Olla hanya bisa tersenyum dan melambaikan tangan untuk mengisyaratkan Handra untuk mendekati. Olla yang masih diinfus dan selang udara yang masih menempel di hidungnya. 'Mah, adik Handra mana mah?' lanjutnya setelah tengok kanan kiri namun tidak melihat bayi.

'Lagi sama dokter Han.' jawab Olla lirih. 'Handra udah makan?' lanjut Olla. Handra pun mengangguk dan Olla hanya tersenyum.

'Oh ya,Ki. Tante keluar dulu ya mau ambil obat buat mama kamu. Jaga mama yah.' Nancy keluar dari ruangan. Namun saat Nancy melepas pintu, ia mendengar isakan Reki dengan : ' Mah, kenapa mama melakukan semua ini? Mama nggak malu dengan mama sendiri dan keluarga nenek? Apa kata-kata tetangga mah? Reki malu. Reki sangat malu dengan perbuatan mama ini. Reki malu sama teman main, sekolah dan tetangga mah. Reki tahu mama kerja di bar tapi tidak harus begitu kan?' isak Reki mengikuti setiap pertanyaanya. Dan ia mulai menangis. Handra hanya berdiam disudut disamping kiri Olla. Dan Reki berusaha menenangkan diri walau isak masih terjadi.

'Reki...' lirih Olla.


'Reki...' potong Nancy, ia melangkah masuk. Nancy melihat Olla. Nancy melihat Olla tak tega dan segera membawa keluar Reki dan Handra. Handra yang sebelumnya menolak namun setelah dibujuk mau menurut.

 'Beliin tante pulsa ya..' lanjut Nancy sembari melangkah keluar.

'Tan, kira-kira adik Handra cantik nggak ya?' ucap Handra berlalu.

***


Sebuah Kota madya, Olla tinggal di salah satu desa di kota madya itu. Kondisi kependudukannya pun mulai padat dengan habisnya persawahan-persawahan yang ada di sekitar lokasi tinggal keluarga Olla dan sanak saudara. Terbukti telah tumbuh perumahan-perumahan yang ber-cluster dan beberapa sekolah tinggi keperawatan dan kebidanan. Namun kondisi udara di lingkungan itu masih stabil. Pertumbuhan ekonomi pun stabil meski sebagian banyak orang-orang berpenghasilan rata-rata pada masyarakat umumnya. Ada juga orang-orang yang berpenghasilan tinggi dari mereka yang membuka usaha-usaha untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sekitar.. Entah itu toko kelontong, toko material dan lain sebagainya. Ada juga warnet-warnet menghiasi di sepanjang jalan dimana Olla dan sanak keluarganya tinggal.

Para tetangga masih sibuk dengan pemberitaan keadaan Olla. Dari berita-berita yang ada jauh dari pemberitaan yang sebenarnya. Ada yang dilebihkan dan itu sangat merugikan keluarga Olla sendiri, terutama ibunda Olla, Sutimah.

Sutimah yang berumur sekitar enampuluhlima tahun dan keberadaannya di luar kota yang ikut bertempat tinggal di kota Jakarta bersama anak keenamnya yang sudah berkeluarga dan mempunyai anak laki-laki. Keadaan di lingkungan itu belum kondusif. Ada beberapa orang yang provokasi pemberitaan itu dengan melebih-lebihkan asli beritanya. Bahkan seorang ibu yang usianya sekitar limapuluhlima tahun masih saja ikut andil dan menjadi fronman dalam pemberitaan itu. Tak tanggung-tanggung, dirinya selalu hadir dari para ibu-ibu yang sedang duduk asik bersama untuk memberitakan Olla. Dan ia selalu baik ibarat seorang salesman yang menawarkan barang-barangnya door to door.

Dua hari telah berlalu pasca kelahiran Olla tanpa suami. Dan para adik-adik Olla yang tinggal berdekatan dengan rumah induk keluarga besar mereka yang masih terawat, tak memberanikan bersosial dengan masyarakat sekitar karena keadaan yang masih panas. Tiga hari yang lalu sebenarnya di lingkungan itu kondusif dan seperti biasanya para tetangga saling membaur dan bersosial baik. Dan karena kejadian yang menimpa keluarga besar Kally keadaannya berubah meski para tetangga masih acuh.

Kally, Nancy dan Luya berkumpul di rumah Kally. Luya yang mengetahui saat pulang kerja yang diceritakan oleh Nancy. Mereka diam. Tak seorang pun memulai untuk bicara. Tak lama kemudian suami Kally muncul dan ;' Mau berbuat apa sekarang? Kita sudah kepalang malu atas perbuatan Olla. Aku juga malu saat teman-teman kerja membicarakan Olla. Dan aku hanya meninggalkan mereka saja. Kita harus lebih lapang atas kejadian yang memalukan ini' ungkap Rahdi sembari menghisap rokoknya, yang berlalu dari ruang belakang. Dan Rahdi duduk di sebelah kiri Luya.

'Aku geram sekali sama Olla. Dia tak tahu malu. Dan dia tak pernah sadar atas kejadian dulu. Dia tak pernah belajar bagaimana yang menimpa dirinya.' Luya geram, ucapannya pun tereja dari kalimat terakhirnya. Dan berusaha untuk menenangkan keadaan.

'Sudahlah. Yang penting bagaimana mengabarkan ini semua kepada Ibu?. Ibu harus tahu keadaan ini.' jelas Nancy kemudian ia bersandar sembari memikirkan. 'Aku sudah menyuruh ka Harnan untuk mengabarkan Lerna dan Rorik di Jakarta. Tapi bilang jangan sampai tahu oleh suami Lerna karena ini sangat memalukan'. Lanjut Nancy.

'Ok. Kita telfon kembali ke Rorik' ide Kally untuk memberikan kelanjutan informasi tentang keadaan Olla dan keadaan lingkungan atas berita yang tersebar. 'Aku tadi siang sudah menghubungi Lerna namun nggak ada jawaban. Mungkin, Rorik bisa kita hubungi dan barangkali dia belum tahu' lanjut Kally sembari memencat ponselnya untuk segera menelpon adik bungsunya.

Semua begeming kecuali Kally yang sibuk mengangkat ponselnya. 'Hallo Rik, kamu lagi di rumah Lerna?. Apa, di Bandung? Oh kamu sudah diterima di tempat kerja baru. Syukurlah kalo gitu. Begini Rik, tadi siang aku hubungi Lerna tapi nggak ada yang ngangkat dan ke nomor suaminya juga nggak aktif. Kamu tau nomor yang lain?.

'Oh jadi Lerna masih kerja. Kamu dah tahu Olla udah ngelahirin? Iya Olla.....' jelas Kally menceritakan Olla kepada Orik. Kally pun mengikuti ucapan yang disampaikan Orik ke mereka. Aneka perasaan menghiasi ucapan didalamnya.

'Orik katanya mau menghubungi Lerna sore ini. Oh ya, si Orik udaj diterima di tempat kerja barunya.' lanjut Kally. Mereka pun sedikit lega.

'Terus bagaimana dengan masalah biaya rumah sakit itu?' tungkas Nally.

Kally pun tersentak. 'Oh iya...' Kally sedikit mulai bingung atas pertanyaan Nancy. Tak lama kemudian ia kembali ingat atas duit Rorik yang ada didirinya. ' Aku ada duit namun itu semua duitnya Rorik.....' ucapan Kally terpotong saat ponselnya berbunyi kencang di meja. Kally segera mengangkat ponselnya. Ia mengetahui dari Harnan kalau ada seorang pria yang datang dan mengakui atas kehamilan Olla. Mereka bergegas ke rumah sakit setelah mendapat suruh dari Harnan.

***

Olla adalah anak pertama dari tujuh bersaudara. Dengan pendidikannya yang hanya lulusan SD mebuat dirinya rendah akan pola pikir yang lebih stabil untuk menitik beratkan manfaatnya. Sedari kecil juga dia disuruh bekerja sembari sekolah oleh orangtuanya. Dimana keadaan keluarganya yang tak mampu. Dan Olla tumbuh dewasa dengan kemandirian dan cara pikir dagang yang bagus.

Karena kemahirannya ia merantau ke Jakarta pada tahun akhir tahun delapanpuluhan. Awal tahun sembilanpuluhan ia menikah dengan seorang pria keturunan Sunda. Mereka merintis usaha warung makan hingga mempunyai empat warung yang tersebar di beberapa tempat dan masih dalam satu daerah.

Namun perjalanannya itu tak mulus membuat mereka bersama. Pertengahan tahun sembilanpuluhan mereka bercerai setelah mendapat dua anak : Jondy dan Reki. Olla memutuskan pulang tanpa membawa barang bawaan hanya baju yang dikenakan saja dan sejumlah uang untuk perjalanan pulang. Karena sesuatu hal mereka berpisah walau kadang ada usaha untuk bersatu namun karena sifat kerasnya Olla membuat pernikahan itu membuat tak ada silaturahmi lagi antar Olla dan mantan suaminya.

Olla jatuh, mungkin bisa dibilang miskin kembali. Kini ia kembali awali dari nol lagi. Dan beberapa tahun kemudian Olla membuka usaha warung kecil minuma : beraneka minuman ada dari softdrink sampai harddrink. Dan dengan kemahiran dagangnya, usahanya maju.

Olla memutuskan menikah dengan pengusaha tambak bandeng dari kota lain yang masih dekat dengan kota Olla tinggal. Dari pernikahannya lahir seorang Handra. Namun dari tahun ketahun ternyata Olla hanya dimanfatkan saja oleh suaminya. Dia mendekati karena untuk mencari materi guna melunasi hutang-hutangnya. Dan sialnya Olla, ternyata ia ditipu atas kestatusan sang suaminya yang mengaku duda beranak dua dan itu ternyata salah. Suaminya masih punya ikatan dengan istri pertamanya dan itu juga belum bercerai. Sementara dokumentasi atas status kedudaannya ternyata palsu. Olla pun memutuskan bercerai.

Olla kembali terpuruk. Kini ia harus meraway ketiga anak lelakinya dengan sendiri.

Tahun demi tahun, anak-anak mulai tumbuh dewasa. Johndy anak pertamanya sudah lulus SMA. Dan beberapa tahun yang lalu usaha Olla mulai sepi dan tak bisa untuk di untungkan namun Olla berusaha untuk tetap melanjutkan meski terkadang rugi.

Olla di buat geram atas perlakuan anak pertamanya, Johndy yang selalu bikin masalah. Dari sekolah hingga dia berhenti kerja. Satu-satu harapan yang diharapkan ternyata tak bisa memberikan ruang gerak untuk memenuhi kebutuhannya. Sementara kebutuhan untuk Reki dan Handra bersekolah.

Dan sekarang Olla yang masih berbaring dengan tanpa selang oksigen memandang kosong. Ia sedang berfikir atas perbuatannya yang salah. Dan yang paling dia khawatirkan adalah tentang ibunya, Sutimah. Dia takut. Dia mengetahui karakter sang ibunya. Dan itu membuat jadi bayangan difikirannya.

Saat mau melahirkan perawat mengukur tensi darah Olla dan hasilnya lebih diatas seratuslimapuluh lebih yang membuat tim medis khawatir dengan kondisi Olla. Tensi darah Olla labil hingga pasca melahirkan. Mungkin beban pikiran yang menjadi penyebab kondisi Olla tak menentu. Ada satu hal yang membuat Olla melakukan absurd itu.

'Ya Allah, engkau maha tahu atas semua ini. Sekarang aku hanya pasrah kepadaMu atas semua yang aku lakukan semua ini. Aku akan menerima apapun yang akan terjadi pada kehidupanku nanti. Tapi Engkau maha tau Ya Rabb atas semua yang aku lakukan ini. Dan halal bagiku namun masih haram di telinga oleh saudara-saudaraku ini dan tetangga yang mengetahuiku ini. Engkau segala sang pencipta dan maha kuasa atas semua kehendakMU.

Aku hanyalah manusia biasa yang tak punya daya atas kelemahanku ini. Aku hanyalah manusia yang tak sempurna untuk semua kehidupan ini. Engkaulah satu-satunya yang tahu akan semua permasalahanku, maafkanlah hamba jika hamba telah salah mengambil keputusan yang hamba putuskan. Engkau maha pengampun. Engkau maha pemberi maaf atas semua kesalahan-kesalahan umatMu.

Ya Allah, hamba adalah sebuah batu yang tak mampu memberik atas lumut-lumut dipinggir-pinggir sungai.

Yang hanya menjadi penghalang oleh aliran derasnya kehidupan. Hamba ikhlaskan atas semua kehendakMu. Jikalah Engkau memanggilku, berilah hidayah, kebaikan, kesehatan, kepintaran kepada anak-anak ku agar mereka tak membuat rugi orang-orang. Dan jika Engkau....' ucapan hati Olla terhenti saat Nancy dan Kally masuk ke ruangannya. Olla menengok kepada mereka. Olla mendapati wajah-wajah adik-adiknya yang kumal oleh masalahnya. Olla tersenyum. Mereka pun berdiri bersamping dengan Olla.'Kally, Nancy... Olla minta maaf atas semuanya. Olla tidak bermaksud memalukan keluarga...' tangis Olla.

'Udahlah La, nggak usah kau pikirkan semuanya. Yang penting kamu lekas baik dan juga anak mu.' jawab Kally.

'Olla harap ibu jangan sampai tahu atas kejadian ini. Karena ibu akan marah sekali...'

'Iya, kami tau. Tapi sepandai-pandainya orang nyimpan bangkai pasti akan kecium juga La...'

Olla memejamkan mata dan air matanya mengalir dari sudut matanya.

'Harnan mana? Kok diluar ngga ada? Katanya ada ayah dari anakmu?' tanya Kally.

'Iya, Harnan lagi ngurus-ngurus administrasi dan Rudi ikut dengannya. Katanya dia yang akan membiayai semuanya.' lirih Olla dengan berusaha menguatkan diri karena kondisinya yang masih lemas. 'Nancy, Kally.. Olla udah bicara sama Rudi tadi pas dia kesini. Olla pengen Nancy,Kally dan Harnan bicara bersama. Rudi siap bertanggung jawab semuanya... Dan Olla harap kalian jangan amarah dulu sebelum bercerita. Ada satu hal yang kalian belum tahu tentang hubungan kami.' terang Olla melanjutkan ucapannya. Olla pun kembali menceritakan semua dari awal hubungannya dengan Rudi hingga lahir seorang anak perempuan.

***

'Anda Kally?' tanya Rudi ragu di lorong jalan rumah sakit Olla di rawat. 'Kally adiknya Olla?' lanjut Rudi mengulang dengan sedikit memastikan. Rudi yang memegang kertas putih yang dilipasnya di tangan kiri. Rudi datang sendiri.

'Ya, saya Kally. Anda siapa?'

'Saya Rudi,' jawab Rudi ramah. Kemudian ia sedikit meminggir oleh lalu lalang orang berjalan. 'Rudi temannya....'

'Rudi yang membuat aib di keluarga saya?!' potong Kally dengan ketus.

'Maaf mba, nggak enak kalau di dengar sama orang-orang disini. Lebih baik dibicarakan di dalam saja. Saya akan bertanggung jawab semua. Baik biaya rumah sakit dan atas kelahiran anak Olla.' jawab Rudi gugup yang tak karuan. Ia pun dengan segera membela diri untuk menenangkan Kally agar tak bicara lebih banyak dan keras. 'Mari mba, kita duduk dulu di taman atau di dalam ruang Olla biar kita saling enak' lanjutnya.

'Ya itu sudah tanggung jawab Anda sendiri. Bukan hanya biaya rumah sakit saja. Apalagi anak Olla perempuan. Dia akan dapat cemohan nantinya kalau Anda saudara Rudi tak bertanggung jawab semua'. Tukas Kally dengan mengeja di akhir kalimatnya.

Setelah ucapan sengit, Kally dan Rudi membaur tatkala Rudi memohon sejenak untuk menjelaskan semua apa yang terjadi. Dan bahwasanya apa yang dipikirkan dan di tudingkan bukanlah yang sebenarnya. Apalagi yang diucapkan para tetangga dari keluarga besar Olla.

Dengan usahanya itu, Kally lebih terkendali dan memahami atas tindakan Olla dan Rudi. Tapi yang disayangkan oleh karena tak pernah mengabari kepada seluruh keluarga besar Olla. Mereke beranjak ke ruang Olla.

***

Kally kini mulai lega. Dia harus memusat pikirannya ke ibunya, bagaimana cara menyampaikan berita buruk ini. Dia harus punya cara tersendiri agar penyampaian beritanya tak membuat shock berat bagi ibunya. Apalagi setelah Rorik memberitahu bahwa dua bulan yang lalu ibu kena lemah jantung. Itulah yang diingat atas ucapan dengan Rorik dua hari yang lalu.

Kally merundingnya dengan saudara-saudaranya. Hasil perundingan itu tetap pada intinya, yaitu harus disampaikan karena lambat atau cepat akan tahu juga. Apalagi dengan kondiisi lingkungan warganya yang begitu santer diberitakan. Dan akan menjadi lebih sakit didengar. Mungkin ini jalan yang terbaik.

Pesan satu hal lagi dari Lerna, agar saat berbicara dengan ibu harus pelan dan mengena apa yang dibicarakan jangan sampai pada tujuan pembicaraannya.

***

Sabar itu ada batasnya. Mungkin itu juga terdapat pada kesabaran Nancy. Nancy sudah habis kesabarannya tatkala seorang ibu-ibu yang dengan giat menyebarkan atas pemberitaan kakaknya. Nancy beranjak pergi kerumah seorang anak perempuan darinya. Sesampai dirumahnya :'Fat, ibu maunya apa sih dari kami? Dia dengan giat menyambangi pintu ke pintu hanya untuk menceritakan aib orang. Apa kamu nggak melerainya?. Kamu tahu kan Fat?! Kakak saya melakukan itu juga karena ada sebabnya. Dan sebabnya itu kami udah tahu. Lantas niatan apa ibu kamu dengan sengaja melakukan itu?' tukas Nancy dengan kesal dan perasaan kekecewaan.

Nancy menemui Fatwa dirumahnya pada pagi hari saat masak. Dan juga ada sang suaminya yang sedang mengaduk kopi. Fatwa sudah paham apa yang diucapkan Nancy. Fatwa hanya diam. Sementara sang suami Fatwa pun hendak bergerak namun di cegah oleh Fatwa. Sebelumnya pun Nancy memberontak atas tantangan suami Fatwa. Nancy memberanikan diri untuk datang ke rumah Fatwa walau beda umur mereka sepuluh tahun lebih tua Fatwa.

'Fat, kamu tahu sendiri kan? Kakak kamu si Edi mengahamili istri orang dan anaknya pun perempuan hingga dewasa. Dan kamu tahu kan, si Tari keponakan kamu anaknya Edi dihamili. Dan juga Yana kakak tari menghamili perempuan. Kamu tahu itu kan? Lebih parah mana bejatnya? Kakak saya apa keluarga Edi, kakak kamu dan anak dari ibu kami?' lanjut Nancy dengan nafas isak.

Suami Fatwa tidak terima dengan ungkapan Nancy namun di cegah dan diuraikan Fatwa. Fatwa hanya diam dan memahami yang disampaikan Nancy dan Fatwa juga membenarkan semua yang diucapkan Nancy. Fatwa hanya meminta maaf atas kesalahan ibunya.

Setelah apa yang disampaikan dan dipahami Fatwa, Nancy pulang. Sebellumnya mereka saling memaafkan. Dan Nancy menceritakan sebenarnya yang terjadi pada Olla. Nancy punya pemikiran agar keluarga Fatwa yang lebih tahu agar berita yang sebenarnya cepat menyebar apa yang berita sebelumnya yang cepat meluas.

***

Fatwa menceritakan kembali kepada ibunya tadi pagi tentang tingkahnya yang telah dilakukan, yang diceritakan oleh Nancy. Namun ibunya menyangkal dan tak terima atas ucapan Nancy. Fatwa pun berusaha menjelaskan kejelekan tingkahnya dan Fatwa menjelaskan masalah yang sebenarnya.
Tak lama kemudian, esoknya ibunya Fatwa saat melintas didepan rumah Nancy, menyapa dengan malunya namun tetap acuh.

***

Jam sudah menunjukan pukul sepuluh pagi. Seperti yang dijanjikan Lerna agar hendak menghubunginya sekitar jam sepuluh pagi. Harnan, Nancy, dan Luya duduk disebelah Olla. Olla terlihat membaik, meski wajahnya masih sedkit pucat. Infusnya tak tertancap lagi di lengan kirinya. Sementara Kally mondar mandir sembari mengangkat telfon ke Lerna.

'Hallo' jawab Kally. Rudi datang mengucap salam sembari menutup pintu dan berlalu. Kally beranjak keluar ruangan. Kemudan Nancy, Harnan dan Luya mengikutinya. 'Hallo, Lerna, mana ibu? Ya, mba udah tahu nanti selepas mba nelfon kamu baik-baikin ibu ya.. Biar shock berat mendengarnya.... Ya.. Ya...'

'Assalamu'alaikum..... Wa'alaikum salam,' jawab Kally menenangkan diri. 'Ini Kally bu... Ya, gimana kabar? Sehat? Alhamdulillah.... Iya, alhamdulillah sehat semua disini. Di Jakarta baik-baik saja kan? Iya...'

'Iya, kemarin juga habis telfon ke Rorik. Dia sekarang di Bandung.... Iya....'

'Begini bu,' potong Kally untuk memulai pembicaraannya. ' Ada sedkit berita yang kurang enak disini. Tapi ibu jangan kuatir ya... Karena masalah sudah ditangani cuma mungkin yang bikin malu sama tetangga aja.

'Gini bu...,' Kally mengulang. Sempat kebingungan harus dimulai dari mana. 'Olla sudah melahirkan dan anaknya perempuan. Sekarang di rumah sakit dan besok sudah di perbolehkan pulang,' spontan Kally menjelaskan, yang karena apa dia lancar dalam mengucapkan tanpa ragu dan gugup.

'Iya bu. Nggak apa-apa kok bu. Orangnya mau bertanggung jawab.' jelas Kally menerangkan kepada ibunya dan menceritakan agar tidak menghentak. Dari suara yang didengar, Kally hanya mendapati suara yang sedikit gemetar dan kata istighfar yang berulang-ulang.

' Jadi seperti ini bu,' Kally memulai cerita,' Olla melahirkan anak perempuan. Dan orangnya mau bertanggung jawab. Kally liat orangnya sedikit bangga punya anak perempuan. Dan katanya dia pengen punya anak.
Dia namanya Rudi, orang semarang. Bekerja di pelabuhan. Nggak tahu posisinya apa. Sepertinya dia pegawai, Kally pernah melihat kartu pegawai.

Kata Olla, sudah mengenal sudah lama. Kata Olla juga Rudi yang sering membantu ekonomi Olla. Jadi kalau Olla minta duit buat biaya Johndy, Reki dan Handra mintanya ke Rudi. Minta sekian dikasih, minta sekian di kasih.

Dia juga yang membiayai semua perawatan dan persalinannya.

Terus Kally tanyakan kepada Olla dan Rudi, bagaimana kelanjutannya, katanya mereka mau merawat bareng tapi jangan sampai ketahuan istrinya yang di Semarang.

Iya, Rudi masih berkeluarga. Dan punya anak satu dan laki-laki dan juga udah selesai kuliah.

Olla dan Rudi sudah nikah siri. Dan mereka lakukan nikah sirih di Semarang dengan keluarga paman Rudi. Nggak tahu kenapa demikian.

Kally cuma ngasih berita itu saja bu. Cuma di masyarakat menangkapnya Olla hamil diluar nikah. Secara Olla kan sudah menjada dua kali.

Kally juga heran, Olla masih bisa hamil. Dan ibu tahu sendiri, dengan postur Olla yang besar membuat dirinya hamil tak kelihatan. Kally, Nancy dan yang lain juga tahu dari tetangga dan emang benar adanya Olla mau melahirkan setelah malam-malam minta bantuan ke rumah Kally.

Bu jangan di pikirkan ya... Semua baik-baik saja. Dan Kally harap ibu jangan berfikiran macam-macam.' Kally pun mulai lega setelah menceritakan semua. Kally mendengar kelegaanya dari suara Sutimah, ibu mereka. Namun Kally tak mengetahui kondisi sebenarnya karena berbciara via ponsel saja.

--------------- the end ---------------


Terkirim dari telepon Nokia saya