Sabtu, 20 Agustus 2011

Heart on the Bottle


heart on the Bottle
pic by pikonthe.blogspot.com
SEBUAH lukisan besar berukuran satu kali dua meter yang menggambarkan seorang wanita tersenyum dengan menggenggam jemarinya, Monalisa. Sebuah karya sang maestro Leonardo Da Vinci yang super terkenal dan penuh teka-teki didalamnya. Ia tergantung tepat selurus dari pintu masuk museum. Bagi yang memasuki museum itu mata akan langsung tertuju ke sebuah lukisan itu.

Seorang lelaki yang sedang berjalan lirih mengamati dalam dari lukisan disetiap detil itu. Ia tak memahami tentang sebuah lukisan Monalisanya Da Vinci namun dia kagum dengan sebuah karya di masa silam. Mengartikannya wanita itu tersenyum ikhlas tanpa sebuah beban. Sekali ingin lelaki itu untuk menyentuh Monalisa namun keraguan oleh sebuah tulisan ‘Dilarang Menyentuh’ kembali mengurungkannya. Lelaki itu lebih memahami aturan karena lukisan itu yang langka dan bernilai.

Setelah lama dan berdetak kagum dengan Monalisa, lelaki itu menyisir ke sebuah lukisan di seberang dinding lainnya. Lelaki itu mendekati, sebelumnya ia mengarah ke semua lukisan dari sepintas dan ia mendapatkan sebuah karya yang sama indahnya. Namun selangkah dari posisinya seorang lelaki berambut panjang ikal mendekati dan membungkan mulutnya serta menarik paksa ke sebuah dinding. Mereka bersembunyi dibalik dinding itu dan lelaki yang berambut panjang ikal masih membungkam lelaki tersebut dengan menyandarkan ke dinding. Mereka bertatap. Lelaki tersebut memberikan senyum yang tertutup oleh telapak tangan kanan kiri lelaki berambut panjang. Dari kediaman mereka, terdengar suara lelaki lain bersuara ‘berhenti’ sembari berlari lurus melewati dinding persembunyian mereka dan lelaki berambut panjang melepas bungkamannya ke lelaki tersebut setelah tahu seorang yang berlari itu adalah petugas museum telah tak terlihat.

Lelaki berambut pajang itu berlari namun kembali membalikan pandangannya ke lelaki itu setelah ia tak mengikutinya. Ia menarik tanggannya untuk berlari bersama. Dan mereka pun berlari menelusuri lorong dari museum. Dengan mengarah ke segala arah untuk mengetahui keadaan dan mencari jalan lelaki berambut panjang itu memimpinnya. Mereka menaiki sebuah tangga ke atas. Suara bergemuruh dari langkah mereka menaiki tangga tersebut dan lelah dari raut mereka berdua.

Dan mereka keluar museum dari menara di pintu lantai dua. Mereka berhati-hati dengan larinya diatas atap bergenting sembari mengimbangi tubuhnya dan mereka terhenti disebuah ujung. Mereka terjebak.

“Turunlah. Nanti saya akan menyusul” ucap lelaki berambut panjang sembari mengarahkan pandangannya ke belakang dengan nafas yang tersengal.

“Aku takut. Ini terlalu tinggi.” Ucapnya ragu. Ia pun ketakutan dengan ketinggian sekitar tiga meter.
Dengan terpaksa dan mempercepat kaburnya, lelaki berambut panjang itu mendorong lelaki tersebut dan ia terjatuh dengan lengan sebagai tumpuannya. Ia merasa kesakitan pada lengan kanannya. Lelaki berambut panjang itu menyusul ke bawah. Dengan berusaha mencari yang terbaik untuk tidak membuat rasa sakit oleh lelaki tersebut, lelaki berambut itu menopang tubuh lelaki itu.

۞

Senja melukis indah oleh warna dan sinar sang matahari yang memancar jauh. Tenang, burung-burung terbang kian menari yang damai dibawah angkasa yang bersahaja pada alam. Angin menyisir lembut. Mereka menyaksikannya tanpa ada penghalang,seperti sebuah lukisan yang terdapat pada museum The Museum. Mereka diam, memandang dalam senja keindahan dari Sang Pencipta. Mereka duduk berdampingan di tepi atap sebuah gedung bertingkat. Angin masih menyisir mereka lembut. Mereka menikmati keindahan sejauh mata memandang.

“Maafkan saya, karena saya, kamu menjadi terluka” sesal lelaki yang berambut panjang. Ia berpaling kepadanya karena permintaan sesalnya tak terjawab, “apa kamu marah atas perlakuanku?. Sungguh aku tak bermaksud mencelakakan mu.” Pintanya sembari memegang jemari tangan lelaki disampingnya untuk memastikan. Ia menoleh ke lelaki yang berambut panjang.

“Ini sudah terjadi.” Ketusnya, ia kembali berpaling ke hamparan luas lukisan alam.”Aku tak tahu kenapa kamu membawa ku lari dan bodohnya aku, aku menurut saja tanpa ada pikiran. Dan lagi aku tak kenal kamu.

Lelaki berambut panjang itu berpaling kepadanya dan meraih lengan kirinya, “Tengoklah saya.” Pintanya dengan memandanginya dengan kuat. Kemudian ia mengarahkan muka lelaki disampingnya dengan lengan kanannya.”Apa kamu tak memaafkan saya?. Lihatlah mata saya, sungguh saya tak bermaksud untuk semua itu. Dan saya juga tak tahu kenapa saya memaksamu ikut denganku dari kejaran petugas museum itu.”
“Sudahlah, lagi pula sakitku sudah kau obati.” Ulasnya. Dan memberi senyum meski rasa sakitnya masih berasa. Lelaki berambut panjang berusaha untuk menenangkan kekalutannya.

“Saya David.” Ucap David untuk lebih bersahabat dan memberi warna keceriaan pada mukannya.
“Aku Lanies” jawab Lanies diikuti senyuman. Kemudian David merangkul bahu Lanis dengan tangan kanannya. Mereka kembali menatap angkasa yang warnanya makin tua.

“Saya suka berdiam diri disini untuk melepas penat oleh masalah-masalah ku. Dan saya senang dengan suasananya, tenang. Serasa alam merangkul bersama saya dalam masalah-masalah yang ada pada saya.” Ucap David mengawali cerita kehidupannya. Mereka pun terbahak oleh cerita-cerita konyol yang diceritakan olehnya.

Mereka berlalu dengan cerita David.

۞

David, yang bertelanjang dada dengan bercelana jeans dan rambut panjang yang terkucir, beranjak berdiri dan mengisyarakatkan ke Lanies untuk ikut pula berdiri. Lanies bingung apa yang akan dilakukan David kepada dirinya. Namun ia menuruti keinginnannya. Lanies merasa lega dan senang bersamanya.

“Kau tahu Lanies, liatlah?” kata David sembari menunjuk jauh matahari yang tenggelam. Lanies masih bingung sesekali ia berpaling kemukanya. David merangkul. “Cobalah tutup kedua mata kamu dan ucapkan pada hatimu apa keinginan sekarang maka akan terwujud.” lanjut terang David dengan membantu menutupkan matanya. Lanies pun mengikuti yang diucapkannya.

۞

“Sepertinya lukaku sudah mengering,” kata Lanies berusaha membuka ikatan kain saputangan yang diikatkan pada lengan kanannya yang terluka.
“Jangan!.” kata David mendekat. Lanies langsung berpaling.” Biar mengering. Jika dibuka takut nanti infeksi. Luka kamu cukup lebar.” lanjut David sembari membetulkan ikatan saputangan yang terikat di lengan Lanies.
“Kenapa kau peduli kepada David?”. David diam dan masih merapihkan ikatannya.
“Sudah.” David mengacuhkan pertanyaan Lanies dan beranjak berdiri. Kemudian ia mengulurkan lengannya ke Lanies. Lanies diam, mengacuhkan ajakan David dan pandangannya. David kembali mengajak untuk berdiri sembari menganggukan kepalanya. Dengan muka malas Lanies beranjak dengan memegang lengannya untuk beranjak berdiri. Mereka berjalan dan semakin jauh langkah mereka.

۞

David melempar batu kepingan ke laut, sekali batu itu mengapung-ngapung bak jetski meluncur kencang di lautan. Beberapa kali ia melemparnya dengan rasa kesal, berulang-ulang hingga belum merasa puas. Perasaannya sekarang semrawut, mungkin hal itu lebih baik dilakukan sedari ia harus melampiaskan ke Lanies yang baru di kenalnya. Mungkin itu bisa saja namun itu akan menjadi buruk baginya. Lanies adalah orang yang dekat saat ini. Dia akan lebih mengerti keadaan dirinya dari teman-temannya yang mulai menjauh dan juga keluarga yang sudah acuh atas kehadiran di tengah-tengah keluarganya meski nenek dan kakeknya masih bisa memahami keadaan di dirinya.

David adalah anak korban dari perceraian kedua orang tuanya dari ia masih awal masuk sekolah menengah. Dan ia anak tunggal. Ibunya telah menikah kembali setelah setahun dari perceraiannya. Sementara David ikut dengan ayahnya. Namun kehidupan David selalu di iramakan dengan ayahnya yang selalu beradu, David hanya membela dirinya sendiri karena sifat-sifat ayahnya yang tak kunjung baik dan makin menjadi. Judi dan main perempuan membuat David makin labil dalam kehidupannya. Dan pencarian jati dirinya ia temukan dengan cara berfikirnya sendiri, mendapatkan ketenangan dan kedamaian ia butuhkan,

David melambungkan lemparan batu terakhirnya dengan berteriak. Itu adalah klimaks untuk menenangkan dirinya dari sikap Lanies. Perasaannya bimbang dan takut. Bimbang akan perasaan dihatinya dan takut akan ditinggalkan. Rasa kecewa pun akan datang bila dirinya terlalu cepat mengikuti keinginannya, tentang cinta.

Lanies masih diam, duduk diatas pohon besar yang tergeletak dan sudah kering membelakangi David.

Perasaan Lanies gusar.

“Apa kau tahu Lanies?” kata David mulai mendekat, “Saya mulai bingung dengan perasaan saya sekarang. Entah apa dan siapa yang membuat ku seperti ini. Tuhan terlalu menciptakan kehidupan ini begitu indah, bagi mereka yang menikmatinya. Namun terkadang Tuhan tega memberikan ujian yang berat bagi mereka sampai terkadang juga beberapa orang tak kuat menerimanya dan lari, lari dari perintahnya.” Lanies masih diam. Ucapan David pun disamakan dengan angin yang berhembus di pantai. Kemudian ia menatap David saat pundaknya di rangkul David. David beralih kedepan dan menopang kakinya untuk duduk. David meraih jemari Lanies yang memegang ranting kecil kemudian menggambarkan tanda hati di pasir. “Cinta,” lanjut David lalu ia berpaling ke Lanies. Dan Lanies mulai memperhatikan ucapan David. “cintalah yang membuat semua mahluk tak akan pernah berpaling ke yang lain, Lanies.”

“David,” Lanies memegang pipi dengan jemari kirinya. Ia mendapati muka lusuh dan penuh guratan-guratan tentang kehidupannya yang seperti apa, “apa karena cinta kau seperti ini?” lanjut Lanies dan melepas jemarinya namun tatapan tajam saling memancar. David menyentakan dirinya dari tatapannya kemudian beranjak berdiri dan membelakangi Lanies, sementara Lanies memperhatikan tingkah David oleh ucapnya. Lanies tersenyum indah memberi sedikit rasa senyum pada David.
‘Cintakah yang membawamu kesini?’ ucap hati Lanies.

۞

Angin mulai menghembus pelan namun pekat dan mampu nembus tulang-tulang. Malam pun makin kelam memberi ruang sepi. Rembulan kini bercadar awan hingga cahayanya tak menderang. Diujung timur, dunia tenang terlelap oleh malam.

Lanies mulai meringkuk dalam tidurnya. Tak lama ia mulai merasakan dinginnya malam. Angin sudah menggilas tulang-tulang Lanies yang mengenakan kaos tipis warna biru muda. Tidurnya tak tenang. David pun terbangun yang bersebelahan.

“Biasakanlah tidur dengan keadaan seperti ini, aku dulu seperti itu namun karena saya sudah terbiasa akan menjadi tenang.” ujar David.

Lanies membalikan badannya dan menghadap ke David.

“Bolehkan aku memeluk mu David?” pintanya dengan menggigil.
David diam sesaat namun pikirannya mulai memahami menjawab pertanyaan di hatinya. “Peluklah Lan. Anggaplah saya apa yang ada di bayanganmu”

۞

Artisa menumpukan kakinya yang terduduk di kamar Lanies dengan isaknya. Ia kecewa dan menyesali yang terjadi perubahan pada Lanies. Ia mengusap air matanya dengan kain di lengan. Rambut yang di kucir seadanya kian berantakan. Wajahnya tak bersinar, sembab oleh relung kesedihan. Artisa lesu. Kemudian ia membangkitkan dirinya untuk tegar. Dari arah pandangannya ia mendapati sebuah lemari kecil yang terletak di pojok kamar Lanies. Kamar David rapih namun penuh dengan koleksi-koleksi kebutuhan dan hobinya. Poster besar Jennifer Lopez yang sensual terpasang di atas tempat tidurnya, ada juga poster besar lain dari group sepak bola Man. United dan beberapa foto-foto keluarganya dan sahabat-sabatnya.

Artisa membuka paksa lemari dengan geram dan kesal namun tak jua ia bisa. Ia mencari alat untuk membukanya dengan mengarahkan pandangannya ke semua ruang. Lalu ia melihat kotak tool set peralatan dan sesegera mencari alat seadanya yang mampu membuka kunci lemari itu. Ia memaksa memukul kunci lemari itu dengan keras dan sekuat tenaganya dengan martil besar. Dan pegangan kunci tersebut loncat kemudian pintu lemari itu terbuka.

Arisa mengacak isi lemari dan membuangnya apa yang diraihnya. Ia mencari sesuatu yang membuktikan perubahan pada Lanies. Ia ingin tahu sebab-sebab Lanies memutuskan dirinya. Dan tak lama, ia mendapat beberapa lembar foto. Ia meraihnya. Dengan langkah mundur dan kejut, Artisa tubuhnya makin lemas lalu ia menjatuhkan dirinya pada kasur Lanies.

Perasaannya campur aduk, entah apa yang dirasakan sekarang. Mungkin, serasa tulang-tulangnya diambil dari tubuhnya, sakit dan tak berdaya. Artisa menangis. Ia mengabaikan foto-foto itu lalu ia menutup muka dengan kedua tangannya untuk menahan rasa sakitnya.

۞

Lanies berdiri sedih. Matanya berkaca-kaca. Perasaanya kecewa ia akan di tinggalkan David. Ia mengacuhkan pandangan David namun ia tak mampu untuk itu. Wajahnya hanya menggeleng-gelengkan kepala. David tetap menganggukan kepala untuk mengusahakan ajakan dirinya ke Lanies. Lanies membuang muka dengan isak yang tertahan dan mata yang mulai menetes.

“Terserahlah!.” geram David sembari menunjukkan ke Lanies lalu ia membanting kedua tangannya ke udara. David membalikkan badannya ke pintu kereta dan ia kembali menghadap ke Lanies. David menemukan wajah Lanis penuh kesedihan. Hatinya pun ikut kecewa atas keputusan yang diambil meninggalkan kota ini. Dengan langkah berat David menaiki anak tangga kereta itu. Ia duduk ditepi yang terbatas kaca ke Lanies berdiri. Pintu kereta api mulai menutup perlahan otomatis.

“Mengapa kau membawa ku pada keadaan seperti ini?!” teriak Lanies. Kereta terus melaju dan semakin menjauh dari dirinya. Sebelumnya David masih tegas pada kediamannya dan tak berpaling kembali. ”Kau telah merusak semua setelah kau giat mengukir hati dengan indah. Apakah hatiku cuma hiasan saja yang terpajang didalam botol semata?” lanjut Lanies melemah. Dirinya pun dipaksakan untuk tegar menghadap perasaan yang terkoyak. Dan kereta mulai menghilang dari pandangan matanya.
Angkasa membawa warna abu dan menjadi malam.

۞

Lanies tersedu. Matanya merah dan masih berkaca-kaca. Ia berjalan lirih dengan menahan isakannya mendekat ke Artisa yang telah berdiri didepannya. Lanies mengunjungi ke rumah Artisa dan ia bertemu di depan rumahnya saat hendak berjalan. Artisa diam. Ia hanya memandangi Lanies.

Artisa masih menyimpan dendam dan kecewa. Perasaannya mulai berantipati. Nafasnya berima berat menahan kekecewaannya. Sementara Lanies mendekat dan langkahnya berhenti didepan Artisa. Lanies menggeleng-geleng lirih kepalanya, mengisyaratkan ia tak bermaksud untuk membuat Artisa sedih atas keputusan yang telah diambilnya. Lanies memohon dengan mukanya untuk menerima kehadirannya sesaat.

Artisa masih bergeming. Pikirannya melaju kencang ke beberapa waktu yang lalu atas perbuatan keputusan Lanies kepada dirinya. Waktu itu, dirinya hancur dan tak ada kepedulian dari Lanies. Ia juga mempertahankan keputusannya tanpa memberi tahukan alasan kenapa ia memutuskan dirinya.

Namun melihat keadaan Lanies sekarang Artisa mulai mencair. Ia pun berusaha untuk menerima keadaannya. Dan dirinya juga tahu penyebab berpisahnya kisah asmaranya. Artisa mengagguk. Dan dipeluklah erat tubuh Artisa oleh Lanies. Ia menangis.

Arista berusaha keras melepas pelukan Lanies dan mendorongnya, menjauhi dirinya. Arista masih labil akan perasaannya yang masih berseteru dengan perbuatan Lanies. Ia pun menjauhi Lanies dengan menangis. Dan ia berlari menuju ke rumahnya.

Gerimis kian deras pada malam yang sunyi dan lara. Kilat bak memecut hati Lanis yang kian lara. Lanies berlutut dan berteriak. Dan hujan itulah tangisan Lanies sesungguhnya yang membasahi seluruh tubuhnya.

۞

Lanies berdiri dan langkahnya mulai mendekat pada sebuah foto ilustri sang Tuhannya. Dibawahnya tertempel foto dirinya disaat kecil bersama ibunya. Dalam foto itu Lanies tersenyum lebar. “Tuhan, apakah ini bentuk perjanjianku pada Mu disaat aku masih didalam rahim ibuku?. Aku kan terima hasil kesepakatan ini.” Ucap Lanies dengan menatap tajam foto ilustri sang Tuhannya. Kemudian ia mengalihkan kepada foto ibunya. Ia hanya tersenyum dengan terisak tangis.

.THE END.





0 komentar:

Posting Komentar

Biasanya kesempurnaan bila ada tambahan, so beri komen ya buat kesempurnaan blog ini... :)