Selasa, 11 September 2012

Urbanista [yang] Beriman

Merantau atau mengadu nasib di ibukota adalah salah satu untuk merubah kehidupan. Merubah dalam sistem ekonomi untuk memperoleh finansial yang diinginkan dan untuk memenuhi kebutuhan hidup : entah yang primer, sekunder maupun tersier untuk menunjang kesosialan dimasyarakat. Namun bukan itu saja, hal lain juga pada sifat (psikologis) yaitu gengsi. Yakni memprioritaskan pada kebutuhan tersier.Itu juga menilik dari latarbelakang personality-nya. Dipaksakan atau mengikuti tren masyarakat yang sedang berkembang menjadi salah satu perubahan pemikiran yang sebelumnya menjadi sunah menjadi wajib.

Hal semacam itu menjadi wajar dan sah-sah saja. Tidak ada larangan untuk mencapai keinginan / mimpi seseorang untuk mewujudkannya asal tidak ada saling merugikan antar individu atau golongan. Akan tetapi bila ditanggapi dengan positif maka ada nilai Baik didalamnya yaitu adanya daya saing untuk merubah kehidupan masyarakat dan juga menaikan taraf hidup di bangsa ini sebagai negara berkembang.

Lantas apakah tujuan kita berurbanisasi hanya untuk harta semata? Tak dipungkiri (mungkin) sebagian orang yang merantau ke ibukota mempunyai misi dan visi yang sama yaitu merubah status sosial. Ini adalah tekad atau bisa dibilang ambisi sebagai kunci mereka.

Ibukota adalah sebagai ladang uang untuk merubah status sosial bagi mereka yang ingin lebih bersifat “modern” –mungkin aku bilang seperti itu. Ini terbukti dengan kehadiran perubahan mereka yang saat kembali ke kampung halamannya dan di masyarakatnya akan menilai perubahan : baik dari sikap, penampilan atau yang lain.

Kemajemukan sosial menjadi irama di ibukota. Setiap syairnya mereka akan keindahan pada hartanya dan setiap kesedihannya pada perihnya kehidupan. Ini menjadi hukum alam untuk penyebutan antara si-kaya  dan si-miskin.

Namun adakah peningkatan keimanan mereka ditengah kehidupan mereka?

Aku akan menyebutnya dengan Urbanis bagi mereka, untuk komunitasnya mungkin juga disebut dengan urbanista bagi mereka yang telah berhasil meraih mimpinya. Bukan berarti aku mengkategorikan dari nilai kekayaan mereka yang menjadi patokan sebagai patokannya.

Urbanista yang beriman, mungkin (bagi aku) sekarang jumlah meningkat (nggak ada survei hehheheh) dengan adanya horisontalisasi (kepedulian sesama). Dan cara pandang mereka terhadap kehidupan di sekitar mereka.

3 komentar:

  1. saya bisa lihat itu di teman2 kuliah, mereka tak hanya sukses dunia tapi keimanannya juga bertambah...
    *trims..

    BalasHapus
  2. @ Nurul : kalo sosialita biasa mereka yang bersifat glamour cuma kalo Urbanista itu all class social ( menurut ku ) :D

    @ dAnonim : iya... mereka semakin sadar sebagai manusia yang punya iman

    BalasHapus

Biasanya kesempurnaan bila ada tambahan, so beri komen ya buat kesempurnaan blog ini... :)